NIA MUTIA DINA
123911076
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia adalah
kesenian tari, siapa yang tidak bangga terhadap kesenian tari Indonesia yang
begitu banyak. Dari sekian banyak Negara yang ada di dunia, Indonesia memiliki
kesenian tari yang sangat beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap
suku memiliki seni tari yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah
mereka sendiri. Di Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia.
Akan tetapi, saat ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi
dengan baik dari generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan
zaman, hampir mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni
tari yang sudah hampir punah adalah kesenian sintren.
Di daerah Pemalang, Provinsi Jawa Tengah ada sekolompok
orang atau biasa disebut kelompok yang sampai sekarang masih berusaha
melestarikan budaya tari sintren, yang akan dibahas lebih lanjut pada bab yang
selanjutnya. Oleh karena itu penulis tertarik mengambil tema sintren ini, untuk
melihat bagaimana sisa-sisa kebudayaan sintren dizaman yang serba modern ini.
B.
Tujuan Riset
1.
Untuk mengetahui
kondisi masyarakat Pemalang secara umum
2.
Untuk mengetahai
tentang kebudayaan sintren
3.
Untuk mengetahui
pelaksanaan tari sintren
4.
Untuk mengetahui
pengaruh modernisasi dalam sintren.
BAB II
LANDASAN TEORI
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa,
bangunan, dan karya seni. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial
yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Sebagai makhluk sosial,
individu tergabung dalam kelompok-kelompok sosial yang lazim di sebut dengan
masyarakat.
Dalam kehidupannya, masyarakat membentuk dan
menciptakan kebudayaan, salah satu bentuk kebudayaan tersebut diwujudkan dalam
bentuk-bentuk kesenian tradisional di masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren
merupakan gabungan dua suku kata "Si" dan "tren". Si dalam
bahasa Jawa berarti "ia" atau "dia" dan "tren"
berarti "tri" atau panggilan dari kata "putri" (Sugiarto,
1989:15). Sehingga Sintren adalah " Si putri" yang menjadi pemeran
utama dalam kesenian tradisional Sintren. Sintren (atau juga dikenal dengan Lais) adalan kesenian
tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal,
Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal sebagai
tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih
dengan Sulandono.
Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai
putra Ki Bahurekso Bupati Kendal
yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki Dewi
Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa
Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki
Bahurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi
penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung
melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang
memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang
sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah
pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan
pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya,
dengan ketentuan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam
keadaan suci (perawan). Sintren juga mempunyai keunikan tersendiri yaitu
terlihat dari panggung alat-alat musiknya yang terbuat dari tembikar atau
gembyung dan kipas dari bambu yang ketika ditabuh dengan cara tertentu
menimbulkan suara yg khas.
BAB III
KONDISI LAPANGAN
(TRADISI KHAS DAERAH)
Kesenian
sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan
memiliki dua versi. Versi pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan
Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal
dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono
tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan
ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain ("sapu tangan")
sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya
selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara
bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.
Tepat
pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan
rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R.
Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu
tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit
Rr. Rantamsari sehingga mengalami "trance" dan saat itu pula R.
Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih
"trance/kemasukan roh halus/kesurupan" ini yang disebut
"Sintren", dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut
sebagai "balangan". Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka
Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya
untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Versi
kedua, sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso)
dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk
memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC
di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan
menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari
itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak
lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga
Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah
mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari
berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah
pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama
Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi
Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena
kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka
Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan
bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah
kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi
Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
BENTUK PENYAJIAN SINTREN
BENTUK PENYAJIAN SINTREN
- Pra pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan masa atau penonton.
- Dupan, yaitu acara berdoa bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
- Membentuk (menjadikan) sintren. Tahapan menjadikan sintren dilakukan oleh Pawang yang dengan membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Pawang segera menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Kesenian sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan seniwati dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan.
BAB IV
ANALISA LAPANGAN
A.
Kondisi Umum Masyarakat
di Kota Pemalang
Pemalang
adalah kota di Jawa Tengah yang mendapat julukan Ikhlas. Masyarakat Pemalang
saat ini bersifat terbuka, artinya mudah menerima budaya atau pengaruh dari
luar, hal ini sebenarnya sempat membuat khawatir dalam artian karena begitu
mudahnya pengaruh dari luar datang maka kebudayaan Pemalang akan semakin
dilupakan, khususnya sintren yang memang asli dari Pemalang.
Orang
yang turut melestarikan kesenian ini sangat terbatas. Masyarakat Indonesia saat
ini tak terkecuali Pemalang, umumnya lebih mengedepankan moderenitas dalam gaya
hidup mereka tetapi tidak memikirkan bagaimana moderenitas itu bisa mengangkat
kebudayaan mereka sendiri. Bisa saja pertunjukan sintren ditampilkan dalam
suasana yang lebih modern, misalnya lagunya agar menarik simpati masyarakat,
harus menyesuaikan sesuai dengan perkembangan zaman.
Kesenian
sintren ini sudah termasuk kesenian yang langka. Bahkan di Pemalang yang
merupakan daerah asalnya sendiri kita sulit menemukan grup sintren. Namun, kita
tidak perlu khawatir akan kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi. Ada
sebagian orang yang masih ingin melestarikan kesenian tari sintren melihat
sintren tetap digemari di zaman sekarang dan menjadi hiburan untuk masyarakat
Pemalang.
B.
Pengertian Sintren
Sintren
merupakan seni tradisional yang dilestarikan oleh orang-orang sekarang. Yang
dinamakan sintren yaitu seorang gadis yang benar-benar masih perawan atau belum
pernah berhubungan dengan laki-laki, jika gadis sudah tidak perawan maka tidak
bisa menjadi sintren, karena sintren berhubungan dengan bidadari 40.
Usia
minimal menjadi sintren kurang lebih adalah 20 tahun, sebelum menjadi sintren
sang gadis harus berpuasa dahulu sehari dan melakukan pementasan selama 40
hari, jika sudah 40 hari harus digantikan oleh gadis lain untuk menjadi
sintren, jika gadis (pengganti sebelumnya) itu sudah 40 kali juga harus
digantikan, begitu seterusnya. Tetapi jika gadis yang sudah digantikan oleh
gadis lain ingin menjadi sintren lagi, sewaktu-waktu bisa menjadi sintren
tergantung dari pengelola dan pemain musik lainnya.
Dalam
pertunjukannya biasanya ada satu sintren dan dua panji atau biasa disebut
dengan badut (laki-laki), tetapi karna keterbatasan yang ada terkadang dibalik menjadi
dua sintren dan satu panji. Penari sintren didampingi oleh pawang yang selalu
mengikuti mereka kemanapun mereka melangkah menari, hal ini dikarenakan untuk
menjaga mereka jikalau mereka pingsan atau berhenti menari saat pertunjukan.
Maksudnya adalah sintren tidak boleh disentuh laki-laki jika sintren disentuh laki-laki
maka sintren akan pinsan, selain itu sintren juga akan pingsan apabila terkena
lemparan uang dari penonton yang memang suka menyawer sintren, maka tugas
pawang disini adalah membangunkan kembali sintren dengan cara memberikan menyan
kepada sintren lalu sintren itu akan bangun dan kembali menari.
Sebenarnya,
sintren tidak hanya di Jawa Tengah khususnya di Pemalang, tetapi sintren ada
juga di Jawa Barat. Namun ada perbedaanya, bapak Tarono mengatakan bahwa
logatnya berbeda dalam artian dalam menyampaikan tarian dan lagu-lagunya pun
juga berbeda dalam mengiringi tarian sintren. Namun kepastian sejak kapan
sintren mulai diperkenalkan dan muncul itu belum bisa dipastikan secara benar,
dikarenakan keterbatasan yang ada.
Tujuan
sintren hanyalah untuk menghibur masyarakat saja, walaupun ada unsur gaib
tetapi sintren murni untuk hiburan dan tidak ada tujuan lainnya. Sintren pada
tahun 1980-an hampir dikatakan punah, namun semenjak tahun 2000-an masyarakat
Pemalang khususnya bapak Tarono ingin agar kelestarian kesenian tradisional
sintren tetap dipertahankan karna bagian dari budaya Indonesia juga, untuk itu
beliau menyesuaikan tarian sintren dengan zaman sekarang agar bisa menarik
masyarakat luas dan giat melakukan pertunjukkan sintren di sekitar kota
Pemalang.
Dalam
tari sintren dilengkapi dengan pemain musik dan nyanyi-nyanyian yang khusus
ditunjukan untuk roh ghaib (40 bidadari) yang memasuki badan sang gadis calon
sintren. Menurut bapak Tarono lagu-lagu yang biasa dinyanyikan untuk sintren
sudah dirubah agar mengikuti perkembangan zaman, namun ada satu lagu wajib yang
harus dinyanyikan saat pertunjukan sintren yaitu yang berjudul Solasi Solandana
yang memang diperuntukkan untuk mengundang bidadari 40.
Pertunjukkan
sintren biasanya dimulai pada saat malam hari antara pukul 20.00 WIB sampai
dengan 23.00 WIB tergantung dari izin masyarakat sekitar yang menjadi tempat
pertunjukkan sintren. Biasanya izin didapat dari dinas kebudayaan, polres
pemalang, koramil dan ketua RT sekitar lokasi sintren, menurut bapak Tarono
pertunjukkan sintren harus menyesuaikan dengan anak-anak sekolah, karena memang
anak-anak sekolah banyak yang ikut menonton maka jika ada ujian, sintren
sementara harus vakum dan tidak boleh main kecuali malam minggu dan jika ujian
selesai maka sintren diperbolehkan lagi tampil. Perlengkapan dari pertunjukan
sintren, diantaranya adalah:
Ø Kendang
Ø Gamelan
Ø Gong
Ø Kurungan/sangkar
Ø Kemenyan
Ø Bung
Ø Bambang
Ø Sarun
Menurut penari sintren, saat
melalukan pertunjukkan dia tidak merasakan apa-apa dan tidak akan lelah
walaupun melakukan tarian secara terus menerus saat musik dikumandangkan. Hal
ini dikarenakan unsur bidadari 40 yang memasuki badan sang penari sintren.
Untuk gerakannya sendiri tidak ditentukan, hal ini berjalan dengan sendirinya
sesuai dengan kemauan sintren yang diarahkan oleh pawangnya.
Pakaian sintren sendiri bebas, warnanya juga bebas dan tidak ditentukan yang penting sopan dan mencerminkan pakaian kesenian tradisional.
Pakaian sintren sendiri bebas, warnanya juga bebas dan tidak ditentukan yang penting sopan dan mencerminkan pakaian kesenian tradisional.
C.
Pelaksanaan Tari
Sintren
Pertunjukkan
sintren diawali dengan tembang-tembang yang dinyanyikan oleh para vokalis yang
dibantu oleh pemain musik lainnya jumlahnya sekitar 15 orang. Kemudia gadis
calon sintren yang mengenakan pakaian biasa dimasukkan ke dalam kurungan dalam
keadaan tangan dan kaki terikat. Setelah gadis berada di dalam kurungan
kemenyanpun dibakar sementara para vokalis melantunkan tembang yang tujuannya
memanggil kekuatan dari luar. Kekuatan inilah yang nantinya akan mengganti dan
mendandani busana calon sintren.
Selanjutnya
tembang-tembang berikutnya dinyanyikan tujuannya adalah agar ikatan tali pada
sintren bisa terlepas dan penggantian busana dipercepat serta nantinya sang
sintren dapat menari dengan baik. Jika kurungan sintren dipegang sudah merasa
tergetar itu pertanda bahwa sang kekuatan luar telah memasuki sukma si sintren
dan gadis itu betul-betul menjadi sintren. Tembang-tembang selanjutnya
dinyanyikan sesuai dengan permintaan sintren kemudian kurunganpun dibuka. Kini
dihadapan penonton yang nampak adalah sesosok bidadari yang pakaian kebesaran
lengkap dengan kaca mata hitamnya berdiri anggun memancarkan kecantikan dan
menyunggikan sebuah senyum penuh misteri.
Selanjutnya
sang bidadari pun mulai berlenggok-lenggok menari mengikuti irama gamelan yang
dimainkan oleh pemain musik atau istilahnya penabuh. Di belakang sintren
seorang wanita tua yang bertindak sebagai pawang mendampinginya dengan setia.
Tugas wanita tua itu menjaga sintren kalau sewaktu-waktu sintren itu jatuh
pinsan atau tak sadarkan diri karena tidak sengaja bersentuhan dengan tangan
laki-laki. Ketika sintren menari biasanya dengan didampingi pawang membawa
nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih
berupa uang ala kadarnya. Suasana pertunjukkan kian menarik ketika tampil satu
atau dua orang badut yang mengenakan pakaian unik menyajikan banyolan dan
tingkah lucu. Sebagaimana halnya dengan kesenian tradisional lainnya, sintren
berusaha tetap eksis di tengah maraknya persaingan jasa hiburan yang kian
ketat.
D.
Tari Sintren dan
Moderenisasi
Menurut
Jujun S. Suriasumantri, modernisasi adalah proses pembaruan masyarakat
tradisional (konvensional) menuju masyarakat yang lebih maju dengan mengacu
kepada nilai-nilai yang lebih universal tersebut. Modernisasi sebagai upaya
pembaharuan dalam kehidupan suatu bangsa biasanya tumbuh sebagai akibat dari
dua penyebab, pertama, perubahan tentang hidup dan kehidupan sebagai akibat
peningkatan kecerdasan, kedua, keterikatan dan ketergantungan umat manusia
secara universal, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Modernisasi pada hakikatnya
merupakan serangkaian perubahan nilai-nilai dasar yang berupa nilai teori,
nilai sosial, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai politik dan nilai agama.
(Daeng, Hans. J, 2000: 48).
Modernisasi
telah membuka akses lebar terhadap terjadinya difusi antara budaya asli (inti)
dengan budaya yang baru datang (sekunder). Sintren, sebagai suatu kesenian
rakyat, juga mengalami perubahan untuk mempertahankan eksistensinya dalam
persaingan di dunia hiburan rakyat. Namun, ciri kesederhanaan dari seni
pertunjukkan rakyat sampai sekarang tetap menonjol. Bila terjadi sotisfikasi
(kecanggihan), bukan pada garapannya, tetapi hanya pada citra lahiriahnya saja.
Demikian
pula dengan pertunjukkan sintren, perubahan tidak terjadi pada ritual dan kemagisannya,
dalam hal ini ritual menyan, kurungan, kerasukan arwah. Perubahan terjadi pada
sisi busana, lagu-lagu, alat musik, dan tempat yang digunakan. Busana yang
digunakan, jika dahulu adalah kebaya (pakaian khas wanita jaman dahulu), maka
busana sekarang adalah busana golek (baju tanpa lengan yang biasanya digunakan
oleh penari golek). Lagu-lagu yang dilantunkan dan alat musik juga mengalami
perubahan. Untuk menarik penonton, maka lagu-lagu yang dinyanyikan di awal
pertunjukkan, seringkali menggunakan lagu-lagu dangdut maupun campursari yang
sedang in pada saat itu. Namun ketika sintren akan memulai berdandan dan
pertunjukkan akan dimulai, lagu “Solasi Solandana” menjadi lagu wajib. Lagu ini
dimaksudkan untuk mengundang arwah yang akan merasuki tubuh penari.
Tempat
yang digunakan saat ini, tidak seperti jaman dulu yang di tempat terbuka di
atas tanah bertikar mendhong (batang rumput rawa), dikelilingi lima buah obor
bambu setinggi satu setengah meter yang ditancapkan di atas tanah sebagai
penerangan. Di tengah arena pertunjukkan dipasang kurungan besar terbuat dari
bambu yang ditutup dengan kain. Setelah modernisasi, tempat pertunjukkan
dipenuhi dengan lampu-lampu yang terang benderang, di tengah arena pertunjukkan
tetap dipasang kurungan besar yang ditutup dengan kain beraneka warna.
Melalui
berbagai perubahan tersebut, seni pertunjukan sintren yang saat ini tinggal di
masyarakat tidaklah wingit lagi (istilah bahasa jawa untuk menyebut “mistis”),
melainkan hanya sekedar hiburan rakyat sebagai wadah mempertahankan seni budaya
tradisional. Selain itu, keberadaan pertunjukan seni tradisional tidak hanya
akan melenggangkan eksistensi seni tersebut, karena biasanya selama pertunjukan
berlangsung akan selalu diiringi dengan keberadaan pasar rakyat yang menyediakan
berbagai makanan dan barang-barang tradisional. Makanan dan barang-barang
tersebut saat ini tidaklah mudah ditemukan.
BAB
V
PENUTUP
A.
Simpulan
Sintren yaitu seorang gadis yang
benar-benar masih perawan atau belum pernah berhubungan dengan laki-laki, jika
gadis sudah tidak perawan maka tidak bisa menjadi sintren, karena sintren
berhubungan dengan bidadari 40. Tujuan sintren hanyalah untuk menghibur
masyarakat saja, walaupun ada unsur gaib tetapi sintren murni untuk hiburan dan
tidak ada tujuan lainnya. Salah satu yang masih melestarikan kesenian sintren
adalah group sintren yang di kelola oleh Bapak Tarono di Pemalang.
Tentang asal – usul sejak kapan
dan bagaimana proses sintren pertama kali muncul juga masih tidak bisa
dibicarakan secara pasti dikarenakan keterbatasan yang ada. Modernisasi telah
membuka akses lebar terhadap terjadinya difusi antara budaya asli (inti) dengan
budaya yang baru datang (sekunder). Sintren, sebagai suatu kesenian rakyat,
juga mengalami perubahan untuk mempertahankan eksistensinya dalam persaingan di
dunia hiburan rakyat, diantaranya adalah lagu-lagu yang dinyanyikan
menyesuaikan zaman sekarang agar menarik masyarakat misalanya lagu dangdut dan
campur sari yang sedang hangat di masyarakat. Selain itu dari segi busana juga sudah
menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
B.
Saran
Adalah
tugas kita bersama untuk menjaga atau melestarikan budaya Indonesia terutama
budaya di sekitar kita. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran budaya, hal ini
ditandai dengan:
1)
Pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku bangsa
yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keungulan-keunggulannya
2)
Sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami
kebudayaan suku-suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri, dengan kata lain
kesedian untuk saling kenal
3)
Pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan
budaya di berbagai tahap masa silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar