Minggu, 21 Juni 2015

Tugas Studi Ilmiah (Museum Rangga Warsita)

NIA MUTIA DINA
123911076

Perintisan berdirinya Museum Jawa Tengah Ronggowarsito dimulai sejak 5 Juli 1975 dan diresmikan pada hari Sabtu Pahing, 2 April 1983. Dinamakan Museum Negeri Ronggowarsito dikarenakan beberapa pertimbangan diantaranya Pengambilan nama Ronggowarsito sendiri dari nama Seorang Pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito yang telah banyak meninggalkan kebudayaan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya yaitu berupa buku-buku dan naskah. Karya–karyanya sangat akrab ditengah masyarakat jawa. Seperti serat Kalatidha dengan bait–baitnya yang meramalkan tentang adanya zaman edan. Museum Jawa Tengah Ronggowarsito merupakan Museum yang memiliki koleksi terbesar dan unsur pendukung lain adalah kelengkapan layanan dan sarana yang tersedia.
Museum Jawa Tengah Ronggowarsito Semarang memiliki total koleksi mencapai 59.784 unit yang terdiri dari berbagai kategori koleksi. Koleksi terbanyak adalah kategori numismatik-heraldika, yakni mata uang dan tanda pangkat. Jumlah koleksi numismatik-heraldika tersebut mencapai 44.961 unit, kategori etnografi sebanyak 6.803 unit, dan koleksi benda-benda arkeologi berjumlah 5.211 unit. Jumlah koleksi keramik, kata dia, sebanyak 1.199 unit, biologi sebanyak 617 unit, historika sebanyak 318 unit, seni rupa 397 unit, dan geologika berupa batuan alam sebanyak 200 unit.
Koleksi yang jumlahnya masih sedikit kategori filologika, berupa naskah atau manuskrip yang hanya 36 unit dan teknologika, seperti mesin ketik kuno sebanyak 42 unit. Museum Jawa Tengah Ronggowarsito termasuk Museum provinsi terbesar di Indonesia dalam hal jumlah koleksi dan keluasan bangunan. Museum ronggowarsito dirancang sesuai dengan standar museum di Asia tenggara. Luas bangunan kira-kira 8.438 m persegi. Yang mencakup pendopo, gedung pertemuan, gedung pameran tetap, perpustakaan, laboratorium, perkantoran.
II.       Nilai Budaya Jawa dalam 5 Aspek Peninggalan
A.      Gedung A:
1.      Galeri Geologi (lantai 1)
Ø  Gunungan Blumbangan: tradisi Gunung Blumbangan dirancang oleh Raden Patah pada abad ke-15. Gunungan menggambarkan alam semesta, manusia, dan lingkungannya.
Ø  Lukisan Alam Semesta
Ø  Koleksi Kosmologika: berupa lukisan-lukisan galaksi, proses terbentuknya planet, atmosfer Bumi; serta koleksi benda angkasa luar berupa meteorit.
Ø  Koleksi Geologika dan Geografika: mencakup ilustrasi skala waktu geologi, diorama stalaktit-stalagmit, formasi batuan Karangsambung-Kebumen yang merupakan daerah penelitian batuan terbesar di Asia Tenggara.
Ø  Koleksi Ekologika: menyajikan diorama ekosistem, koleksi awetan binatang, dan foto-foto lingkungan alam yang terkenal di Jawa Tengah.
2.      Galeri Paleontologi (lantai 2)
Ø  Kelompok Paleobotani: koleksi fosil-fosil kayu dari Sangiran yang terbentuk karena proses mineralisasi yaitu meresapnya mineral (silikat) kedalam struktur/pori-pori kayu, dan ilustrasi bentuk tumbuhan zaman purba.
Ø  Kelompok Paleozoologi: fosil (kerang, gajah purba, kerbau purba, dll) dan ilustrasi kehidupan binatang purba.
Ø  Kelompok Paleontologi: koleksi fosil-fosil fragmen tulang manusia purba jenis Pithecanthropus erectus, manusia-kera yang berjalan tegak.
B.       Gedung B:
1.      Peninggalan dari Peradaban Hindu-Buddha (lantai 1&2)
Budaya yang berasal dari pengaruh Hindu-Buddha dari India sering juga disebut peradaban klasik. Peradaban tersebut datang secara bergelombang, bermula dari awal tarikh Masehi, dan membawa tiga perubahan besar bagi masyarakat lokal yaitu: mengenal ajaran Hindu-Buddha, mengenal sistem pemerintahan kerajaan, dan mengenal bentuk tulisan. Koleksi yang dipamerkan berupa:
Ø  Miniatur Candi Borobudur, Prambanan, Kalasan.
Ø  Replika Prasasti Tukmas dan Cangal.
Ø  Arca-arca dan replika, lingga-yoni, kala-makara. Arca Ganesha dari Sawit, Boyolali, sangat sempurna dilihat dari sisi artistik.
Ø  Koleksi yang berhubungan dengan kehidupan religi seperti kentongan, kendi, genta, cermin yang dibuat dari perunggu.
Ø  Peralatan sehari-hari berupa lampu gantung, bokor, bejana, talam, cetakan mata uang.

2.      Peninggalan dari berbagai zaman peradaban (lantai 2)
Ø  Zaman batu: peradaban batu berupa serpih, kapal genggam, kapak besar (beliung), punden berundak, menhir, arca-arca di Jawa Tengah tersebar di berbagai wilayah.
Ø  Zaman perunggu: berupa benda-benda peralatan (kapak corong) dan benda-benda untuk kepentingan upacara keagamaan seperti nekara, digunakan dalam upacara memanggil hujan.
Ø  Zaman besi: tidak tersedia.
Ø  Peradaban Polinesia: disebut peradaban Polinesia karena berbagai langgam budaya yang ditinggalkan khas budaya Polinesia, berupa arca mirip Ganesha temuan dari Desa Jalatiga, Kecamatan Doro, Pekalongan.
Ø  Peradaban Hindu-Buddha
Ø  Zaman pengaruh Islam: pesisir utara Jawa Tengah (Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Rembang, Lasem) termasuk daerah awal persebaran pengaruh Islam di Indonesia. Koleksi berupa fragmen seni hias, replika kaligrafi karya RM Sosrokartono, serta miniatur Masjid Agung Demak dan Masjid Sunan Kudus.
Ø  Peninggalan zaman kolonial: berupa meriam pertahanan temuan dari Tegal dan Brebes, pedang militer, lonceng dan jangkar kapal, dll.
C.      Gedung C:
1.      Galeri bersejarah perjuangan bersenjata (Lantai I)
Koleksi dibagi dua bagian: koleksi semasa perjuangan fisik dan diplomasi, serta diorama antara lain: Diorama pertempuran lima hari Semarang, diorama peristiwa Palagan Ambarawa, Diorama gerilya dan kembali ke Yogyakarta.
2.      Galeri koleksi teknologi dan kerajinan tradisional (Lantai II)
Ruangan ini dibagi menjadi beberapa bagian, mencakup ruang teknologi mata pencaharian, ruang teknologi industri dan transportasi, ruang teknologi kerajinan, dan rumah tinggal.
D.      Gedung D:
1.      Galeri Pembangunan (Lantai I)
Galeri ini dikelompokkan kedalam Ruang Pembangunan, Ruang Numismatika dan Heraldik, Ruang Tradisi Nusantara, Ruang Intisari dan Hibah.
2.      Galeri Kesenian (Lantai II)
Galeri kesenian menampilkan koleksi benda dan peralatan kesenian yang dipisahkan menjadi Seni Pergelaran, dan Seni Pertunjukan dan Seni Musik.
E.       Gedung E:
Galeri Koleksi Emas Merupakan ruang susulan untuk menampilkan koleksi emas. Diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Edy Setyawati, pada tanggal 14 Oktober 1996. Koleksi dibagi menjadi empat kategori:
Ø Perhiasan badan: anting-anting, gelang, binggel, hiasan dada, kelat leher, ikat pinggang.
Ø Perhiasa kepala: mahkota dan grado.
Ø Berbagai bentuk cincin.
Ø Benda-benda untuk sarana upacara keagamaan, mata uang, lempengan prasasti, arca, keris, dan mangkuk.
III.    Nilai-nilai Islam dalam Budaya Tersebut
Diantara budaya-budaya Islam yang dipamerkan disana ialah:
Miniatur Masjid Agung Demak yang merupakan masjid pertama di Jawa yang dibangun sebelum didirikannya Kerajaan Jawa. Peresmian masjid ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1479 M. Selain itu juga terdapat miniatur Masjid Sunan Kudus (Menara Kudus) Masjid ini dibangun sekitar tahun 956 H/1549 M, pada masa Kesultanan Demak yang didirikan oleh Sunan Kudus. Keunikan masjid ini adalah bangunan menara yang terletak dibagian depan masjid. Bentuknya mengambil corak bangunan Hindu.
Ruangan budaya eropa dan kraton, yaitu Hasil budaya masyarakat eropa seperti lampu gantung, produk belanda yang berasal dari surakarta, jangkar kapal bermata lima dari Jepara, Hasil budaya Kraton, seperti alat angkut (jalen/ kremun) yang berasal dari Surakarta, tombak bergerigi, foto-foto pura Mangkunegaraan dan kraton kasunanan Surakarta, Terdapat juga fagmen seni hias, bahan terakota dari Kudus.
Koleksi di ruang kesenian adalah kesenian wayang, yang ditampilkan dalam bentuk realita, evokatif, foto, peragaan dan proses pembuatannya. Selain itu ditampilkan pula kesenian tradisional yang masih berkembang di lingkungan masyarakat, seperti kuda lumping, barongan, nini thowok, serta perangkat kesenian tradisional masyarakat yang seperti: Wayang merupakan  koleksi yang dipamerkan meliputi wayang beber, wayang kidang kencanu, wayang kaper, wayang kandha, wayang Budha, wayang madya, wayang gedog, wayang duporo, wayang suluh, wayang kayu (golek) dan lain-lain, Seni Musik merupakan  koleksinya meliputi kuda lumping, evokatif barong, nini thowok, dan foto-foto seni pertunjukan seperti dolalak dari purworejo.

Tugas Riset Budaya (Sisa-sisa Keanggunan Sintren)



NIA MUTIA DINA
123911076
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kesenian tari, siapa yang tidak bangga terhadap kesenian tari Indonesia yang begitu banyak. Dari sekian banyak Negara yang ada di dunia, Indonesia memiliki kesenian tari yang sangat beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap suku memiliki seni tari yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah mereka sendiri. Di Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia. Akan tetapi, saat ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi dengan baik dari generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan zaman, hampir mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni tari yang sudah hampir punah adalah kesenian sintren.
Di daerah Pemalang, Provinsi Jawa Tengah ada sekolompok orang atau biasa disebut kelompok yang sampai sekarang masih berusaha melestarikan budaya tari sintren, yang akan dibahas lebih lanjut pada bab yang selanjutnya. Oleh karena itu penulis tertarik mengambil tema sintren ini, untuk melihat bagaimana sisa-sisa kebudayaan sintren dizaman yang serba modern ini.

B.     Tujuan Riset
1.      Untuk mengetahui kondisi masyarakat Pemalang secara umum
2.      Untuk mengetahai tentang kebudayaan sintren
3.      Untuk mengetahui pelaksanaan tari sintren
4.      Untuk mengetahui pengaruh modernisasi dalam sintren.

BAB II
LANDASAN TEORI

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,  bangunan, dan karya seni. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Sebagai makhluk sosial, individu tergabung dalam kelompok-kelompok sosial yang lazim di sebut dengan masyarakat.
Dalam kehidupannya, masyarakat membentuk dan menciptakan kebudayaan, salah satu bentuk kebudayaan tersebut diwujudkan dalam bentuk-bentuk kesenian tradisional di masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua suku kata "Si" dan "tren". Si dalam bahasa Jawa berarti "ia" atau "dia" dan "tren" berarti "tri" atau panggilan dari kata "putri" (Sugiarto, 1989:15). Sehingga Sintren adalah " Si putri" yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren. Sintren (atau juga dikenal dengan Lais) adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki Dewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan). Sintren juga mempunyai keunikan tersendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat musiknya yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika ditabuh dengan cara tertentu menimbulkan suara yg khas.

BAB III
KONDISI LAPANGAN
(TRADISI KHAS DAERAH)
Kesenian sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi. Versi pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain ("sapu tangan") sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.
Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami "trance" dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih "trance/kemasukan roh halus/kesurupan" ini yang disebut "Sintren", dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai "balangan". Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Versi kedua, sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.

BENTUK PENYAJIAN SINTREN
  1. Pra pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan masa atau penonton.
  2. Dupan, yaitu acara berdoa bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
  3. Membentuk (menjadikan) sintren. Tahapan menjadikan sintren dilakukan oleh Pawang yang dengan membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Pawang segera menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Kesenian sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan seniwati dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan.

BAB IV
ANALISA LAPANGAN

A.    Kondisi Umum Masyarakat di Kota Pemalang
Pemalang adalah kota di Jawa Tengah yang mendapat julukan Ikhlas. Masyarakat Pemalang saat ini bersifat terbuka, artinya mudah menerima budaya atau pengaruh dari luar, hal ini sebenarnya sempat membuat khawatir dalam artian karena begitu mudahnya pengaruh dari luar datang maka kebudayaan Pemalang akan semakin dilupakan, khususnya sintren yang memang asli dari Pemalang.
Orang yang turut melestarikan kesenian ini sangat terbatas. Masyarakat Indonesia saat ini tak terkecuali Pemalang, umumnya lebih mengedepankan moderenitas dalam gaya hidup mereka tetapi tidak memikirkan bagaimana moderenitas itu bisa mengangkat kebudayaan mereka sendiri. Bisa saja pertunjukan sintren ditampilkan dalam suasana yang lebih modern, misalnya lagunya agar menarik simpati masyarakat, harus menyesuaikan sesuai dengan perkembangan zaman.
Kesenian sintren ini sudah termasuk kesenian yang langka. Bahkan di Pemalang yang merupakan daerah asalnya sendiri kita sulit menemukan grup sintren. Namun, kita tidak perlu khawatir akan kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi. Ada sebagian orang yang masih ingin melestarikan kesenian tari sintren melihat sintren tetap digemari di zaman sekarang dan menjadi hiburan untuk masyarakat Pemalang.

B.     Pengertian Sintren
Sintren merupakan seni tradisional yang dilestarikan oleh orang-orang sekarang. Yang dinamakan sintren yaitu seorang gadis yang benar-benar masih perawan atau belum pernah berhubungan dengan laki-laki, jika gadis sudah tidak perawan maka tidak bisa menjadi sintren, karena sintren berhubungan dengan bidadari 40.
Usia minimal menjadi sintren kurang lebih adalah 20 tahun, sebelum menjadi sintren sang gadis harus berpuasa dahulu sehari dan melakukan pementasan selama 40 hari, jika sudah 40 hari harus digantikan oleh gadis lain untuk menjadi sintren, jika gadis (pengganti sebelumnya) itu sudah 40 kali juga harus digantikan, begitu seterusnya. Tetapi jika gadis yang sudah digantikan oleh gadis lain ingin menjadi sintren lagi, sewaktu-waktu bisa menjadi sintren tergantung dari pengelola dan pemain musik lainnya.
Dalam pertunjukannya biasanya ada satu sintren dan dua panji atau biasa disebut dengan badut (laki-laki), tetapi karna keterbatasan yang ada terkadang dibalik menjadi dua sintren dan satu panji. Penari sintren didampingi oleh pawang yang selalu mengikuti mereka kemanapun mereka melangkah menari, hal ini dikarenakan untuk menjaga mereka jikalau mereka pingsan atau berhenti menari saat pertunjukan. Maksudnya adalah sintren tidak boleh disentuh laki-laki jika sintren disentuh laki-laki maka sintren akan pinsan, selain itu sintren juga akan pingsan apabila terkena lemparan uang dari penonton yang memang suka menyawer sintren, maka tugas pawang disini adalah membangunkan kembali sintren dengan cara memberikan menyan kepada sintren lalu sintren itu akan bangun dan kembali menari.
Sebenarnya, sintren tidak hanya di Jawa Tengah khususnya di Pemalang, tetapi sintren ada juga di Jawa Barat. Namun ada perbedaanya, bapak Tarono mengatakan bahwa logatnya berbeda dalam artian dalam menyampaikan tarian dan lagu-lagunya pun juga berbeda dalam mengiringi tarian sintren. Namun kepastian sejak kapan sintren mulai diperkenalkan dan muncul itu belum bisa dipastikan secara benar, dikarenakan keterbatasan yang ada.
Tujuan sintren hanyalah untuk menghibur masyarakat saja, walaupun ada unsur gaib tetapi sintren murni untuk hiburan dan tidak ada tujuan lainnya. Sintren pada tahun 1980-an hampir dikatakan punah, namun semenjak tahun 2000-an masyarakat Pemalang khususnya bapak Tarono ingin agar kelestarian kesenian tradisional sintren tetap dipertahankan karna bagian dari budaya Indonesia juga, untuk itu beliau menyesuaikan tarian sintren dengan zaman sekarang agar bisa menarik masyarakat luas dan giat melakukan pertunjukkan sintren di sekitar kota Pemalang.
Dalam tari sintren dilengkapi dengan pemain musik dan nyanyi-nyanyian yang khusus ditunjukan untuk roh ghaib (40 bidadari) yang memasuki badan sang gadis calon sintren. Menurut bapak Tarono lagu-lagu yang biasa dinyanyikan untuk sintren sudah dirubah agar mengikuti perkembangan zaman, namun ada satu lagu wajib yang harus dinyanyikan saat pertunjukan sintren yaitu yang berjudul Solasi Solandana yang memang diperuntukkan untuk mengundang bidadari 40.
Pertunjukkan sintren biasanya dimulai pada saat malam hari antara pukul 20.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB tergantung dari izin masyarakat sekitar yang menjadi tempat pertunjukkan sintren. Biasanya izin didapat dari dinas kebudayaan, polres pemalang, koramil dan ketua RT sekitar lokasi sintren, menurut bapak Tarono pertunjukkan sintren harus menyesuaikan dengan anak-anak sekolah, karena memang anak-anak sekolah banyak yang ikut menonton maka jika ada ujian, sintren sementara harus vakum dan tidak boleh main kecuali malam minggu dan jika ujian selesai maka sintren diperbolehkan lagi tampil. Perlengkapan dari pertunjukan sintren, diantaranya adalah:
Ø  Kendang
Ø  Gamelan
Ø  Gong
Ø  Kurungan/sangkar
Ø  Kemenyan
Ø  Bung
Ø  Bambang
Ø  Sarun
Menurut penari sintren, saat melalukan pertunjukkan dia tidak merasakan apa-apa dan tidak akan lelah walaupun melakukan tarian secara terus menerus saat musik dikumandangkan. Hal ini dikarenakan unsur bidadari 40 yang memasuki badan sang penari sintren. Untuk gerakannya sendiri tidak ditentukan, hal ini berjalan dengan sendirinya sesuai dengan kemauan sintren yang diarahkan oleh pawangnya.
Pakaian sintren sendiri bebas, warnanya juga bebas dan tidak ditentukan yang penting sopan dan mencerminkan pakaian kesenian tradisional.
C.     Pelaksanaan Tari Sintren
Pertunjukkan sintren diawali dengan tembang-tembang yang dinyanyikan oleh para vokalis yang dibantu oleh pemain musik lainnya jumlahnya sekitar 15 orang. Kemudia gadis calon sintren yang mengenakan pakaian biasa dimasukkan ke dalam kurungan dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Setelah gadis berada di dalam kurungan kemenyanpun dibakar sementara para vokalis melantunkan tembang yang tujuannya memanggil kekuatan dari luar. Kekuatan inilah yang nantinya akan mengganti dan mendandani busana calon sintren.
Selanjutnya tembang-tembang berikutnya dinyanyikan tujuannya adalah agar ikatan tali pada sintren bisa terlepas dan penggantian busana dipercepat serta nantinya sang sintren dapat menari dengan baik. Jika kurungan sintren dipegang sudah merasa tergetar itu pertanda bahwa sang kekuatan luar telah memasuki sukma si sintren dan gadis itu betul-betul menjadi sintren. Tembang-tembang selanjutnya dinyanyikan sesuai dengan permintaan sintren kemudian kurunganpun dibuka. Kini dihadapan penonton yang nampak adalah sesosok bidadari yang pakaian kebesaran lengkap dengan kaca mata hitamnya berdiri anggun memancarkan kecantikan dan menyunggikan sebuah senyum penuh misteri.
Selanjutnya sang bidadari pun mulai berlenggok-lenggok menari mengikuti irama gamelan yang dimainkan oleh pemain musik atau istilahnya penabuh. Di belakang sintren seorang wanita tua yang bertindak sebagai pawang mendampinginya dengan setia. Tugas wanita tua itu menjaga sintren kalau sewaktu-waktu sintren itu jatuh pinsan atau tak sadarkan diri karena tidak sengaja bersentuhan dengan tangan laki-laki. Ketika sintren menari biasanya dengan didampingi pawang membawa nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya. Suasana pertunjukkan kian menarik ketika tampil satu atau dua orang badut yang mengenakan pakaian unik menyajikan banyolan dan tingkah lucu. Sebagaimana halnya dengan kesenian tradisional lainnya, sintren berusaha tetap eksis di tengah maraknya persaingan jasa hiburan yang kian ketat.



D.    Tari Sintren dan Moderenisasi
Menurut Jujun S. Suriasumantri, modernisasi adalah proses pembaruan masyarakat tradisional (konvensional) menuju masyarakat yang lebih maju dengan mengacu kepada nilai-nilai yang lebih universal tersebut. Modernisasi sebagai upaya pembaharuan dalam kehidupan suatu bangsa biasanya tumbuh sebagai akibat dari dua penyebab, pertama, perubahan tentang hidup dan kehidupan sebagai akibat peningkatan kecerdasan, kedua, keterikatan dan ketergantungan umat manusia secara universal, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Modernisasi pada hakikatnya merupakan serangkaian perubahan nilai-nilai dasar yang berupa nilai teori, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai politik dan nilai agama. (Daeng, Hans. J, 2000: 48).
Modernisasi telah membuka akses lebar terhadap terjadinya difusi antara budaya asli (inti) dengan budaya yang baru datang (sekunder). Sintren, sebagai suatu kesenian rakyat, juga mengalami perubahan untuk mempertahankan eksistensinya dalam persaingan di dunia hiburan rakyat. Namun, ciri kesederhanaan dari seni pertunjukkan rakyat sampai sekarang tetap menonjol. Bila terjadi sotisfikasi (kecanggihan), bukan pada garapannya, tetapi hanya pada citra lahiriahnya saja.
Demikian pula dengan pertunjukkan sintren, perubahan tidak terjadi pada ritual dan kemagisannya, dalam hal ini ritual menyan, kurungan, kerasukan arwah. Perubahan terjadi pada sisi busana, lagu-lagu, alat musik, dan tempat yang digunakan. Busana yang digunakan, jika dahulu adalah kebaya (pakaian khas wanita jaman dahulu), maka busana sekarang adalah busana golek (baju tanpa lengan yang biasanya digunakan oleh penari golek). Lagu-lagu yang dilantunkan dan alat musik juga mengalami perubahan. Untuk menarik penonton, maka lagu-lagu yang dinyanyikan di awal pertunjukkan, seringkali menggunakan lagu-lagu dangdut maupun campursari yang sedang in pada saat itu. Namun ketika sintren akan memulai berdandan dan pertunjukkan akan dimulai, lagu “Solasi Solandana” menjadi lagu wajib. Lagu ini dimaksudkan untuk mengundang arwah yang akan merasuki tubuh penari.
Tempat yang digunakan saat ini, tidak seperti jaman dulu yang di tempat terbuka di atas tanah bertikar mendhong (batang rumput rawa), dikelilingi lima buah obor bambu setinggi satu setengah meter yang ditancapkan di atas tanah sebagai penerangan. Di tengah arena pertunjukkan dipasang kurungan besar terbuat dari bambu yang ditutup dengan kain. Setelah modernisasi, tempat pertunjukkan dipenuhi dengan lampu-lampu yang terang benderang, di tengah arena pertunjukkan tetap dipasang kurungan besar yang ditutup dengan kain beraneka warna.
Melalui berbagai perubahan tersebut, seni pertunjukan sintren yang saat ini tinggal di masyarakat tidaklah wingit lagi (istilah bahasa jawa untuk menyebut “mistis”), melainkan hanya sekedar hiburan rakyat sebagai wadah mempertahankan seni budaya tradisional. Selain itu, keberadaan pertunjukan seni tradisional tidak hanya akan melenggangkan eksistensi seni tersebut, karena biasanya selama pertunjukan berlangsung akan selalu diiringi dengan keberadaan pasar rakyat yang menyediakan berbagai makanan dan barang-barang tradisional. Makanan dan barang-barang tersebut saat ini tidaklah mudah ditemukan.

BAB V
PENUTUP
A.    Simpulan
Sintren yaitu seorang gadis yang benar-benar masih perawan atau belum pernah berhubungan dengan laki-laki, jika gadis sudah tidak perawan maka tidak bisa menjadi sintren, karena sintren berhubungan dengan bidadari 40. Tujuan sintren hanyalah untuk menghibur masyarakat saja, walaupun ada unsur gaib tetapi sintren murni untuk hiburan dan tidak ada tujuan lainnya. Salah satu yang masih melestarikan kesenian sintren adalah group sintren yang di kelola oleh Bapak Tarono di Pemalang.
Tentang asal – usul sejak kapan dan bagaimana proses sintren pertama kali muncul juga masih tidak bisa dibicarakan secara pasti dikarenakan keterbatasan yang ada. Modernisasi telah membuka akses lebar terhadap terjadinya difusi antara budaya asli (inti) dengan budaya yang baru datang (sekunder). Sintren, sebagai suatu kesenian rakyat, juga mengalami perubahan untuk mempertahankan eksistensinya dalam persaingan di dunia hiburan rakyat, diantaranya adalah lagu-lagu yang dinyanyikan menyesuaikan zaman sekarang agar menarik masyarakat misalanya lagu dangdut dan campur sari yang sedang hangat di masyarakat. Selain itu dari segi busana juga sudah menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
B.     Saran
Adalah tugas kita bersama untuk menjaga atau melestarikan budaya Indonesia terutama budaya di sekitar kita. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran budaya, hal ini ditandai dengan:
1)      Pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku bangsa yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keungulan-keunggulannya
2)      Sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan suku-suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri, dengan kata lain kesedian untuk saling kenal
3)      Pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya di berbagai  tahap masa silam.